Saturday, December 26, 2015

Mahasiswa dan Intelektualitas Tanggung Jawabnya

Mahasiswa dan Intelektualitas Tanggung Jawabnya


Dilihat dari segi bahasa yang mengacu kepada EYD, Mahasiswa terbagi atas dua suku kata yang digabungkan. Maha yang berarti besar/sangat/ tinggi dan siswa adalah orang yang sedang menempuh pendidikan/pelajar/orang yg mempelajari sesuatu. Lazimnya siswa di catutkan pada tingkatan SMU untuk orang yang sedang menimba ilmu.
Jadi mahasiswa adalah pelajar yang derajatnya lebih tinggi dari pelajar lain. Predikat ini diberikan karena para mahasiswa menimba ilmu di sekolah/perguruan ‘tinggi’, seperti yang juga dialami oleh dosen sehingga mereka juga disebut sebagai ‘mahaguru’. Selain itu, subjek yang dipelajari di perguruan tinggi juga menduduki tingkat yang lebih tinggi dibanding subjek-subjek pada sekolah biasa.
Gambaran yang sangat umum, mahasiswa adalah orang-orang yang menempuh pendidikan satu tingkat lebih tinggi daripada siswa dengan lingkungan dan pola pendidikan yang berbeda.
Setelah mengkaji secara dasar, apa itu mahasiswa, tampaknya kita harus melihat lebih jauh lagi pengertian mahasiswa sesungguhnya. Hemat saya, mahasiswa adalah manusia-manusia yang sedang mencari jati diri dalam membentuk pola pikir yang lebih kritis (baik dari segi akademik maupun sosial kemasyarakatan), agen yang membawa perubahan (agen of change) untuk dirinya sendiri, lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Serta satu hal yang pasti yaitu, mahasiswa adalah insan yang sedang menempuh pendidikan (insan akademik) yang kemudian menjadi pengontrol kebijakan-kebijakan sosial dalam masyarakat.

Tridharma Perguruan Tinggi

Sebagai seorang mahasiswa, tentunya kita mempunyai beberapa pegangan agar tidak “tergelincir” nantinya selama menyandang gelar sebagai mahasiswa. Pegangan, panduan atau juga lebih tepat dikatakan sebagai tuntutan mahasiswa tersebut, dinamakan dengan Tridharma Perguruan Tinggi.
Ada tiga hal yang harus kita pegang selama dan setelah menjadi mahasiswa. Pertama ; Mahasiswa sebagai Insan Akademik, kedua ; mahasiswa selaku agen dalam membuat perubahan-perubahan (agen of change) dan terakhir adalah mahasiswa selaku pengontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat (control social).
Sebuah ilustrasi untuk kita renungi bersama; katakanlah Amat sebagai tokoh dalam cerita ini. Sebagai seorang anak desa yang berasal dari negeri nan jauh di pinggiran gunung, Amat mempunyai cita-cita setelah tamat SMA ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yang kebetulan diberi nama Unsyiah. Selaku anak desa yang mempunyai cita-cita luhur, Amat yang masih mempunyai kedua orang tua tersebut harus menghabiskan harta warisannya berupa sepetak sawah yang tak begitu luas untuk menggapai keinginannya kuliah.
Setelah sepetak sawah tersebut dijual, Amat dengan semangat yang membara merantau ke kota Banda Aceh dan menyewa sebuah kamar sempit sebagai tempat tinggalnya selama menempuh pendidikan.
Banyak godaan yang dihadapi Amat, salah satunya tawaran hidup yang serba materialistis untuk tingkatan pemuda-pemuda Kota Raja. Namun hal tersebut bukanlah sebuah rintangan yang berat bagi Amat, karena ia mempunyai keinginan sendiri untuk menjadi seorang sarjana tanpa harus memikirkan kemewahan hidup seperti teman-temannya yang lain. Katakanlah kemewahan hidup tersebut diantaranya memiliki alat komunikasi yang canggih (Hp) dan transportasi mewah, minimal sepeda motor keluaran terbaru.
Jika dilihat dari segi keuangan, Amat cukup mampu untuk membeli kedua hal tersebut. Tapi ia lebih memilih menghabiskan uang tersebut untuk kepentingan kuliahnya. Misalnya meng-copy bahan, makalah dan sebagainya.
Genap empat tahun setengah, berdasarkan keyakinannya Amat berhasil meraih gelar sarjana dengan dengan predikat coumloud dari Universitas.
Inti dari cerita di atas adalah apapun ceritanya, kita melangkah ke perguruan tinggi adalah untuk menempuh pendidikan bukan untuk mencapai kemewahan.
Sebagai seorang mahasiswa, kita juga dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat, minimal untuk pribadinya sendiri. Apakah cerita Amat sudah berakhir? Tentu saja tidak. Apakaha Amat sudah dikatakan mahasiswa? Bagi penulis, Amat secara akademis tercatat sebagai mahasiswa, tapi ia belum bisa dikatakan mahasiswa seutuhnya. Kenapa?
Satu cerita lagi penulis berikan untuk membuka cakrawala kita bersama. Kita pasti ingat dengan kegagahan mahasiswa-mahasiswa era 60-an ketika menumbangkan kekuasaan Presiden seumur hidup, Soekarno. Kemudian kita melangkah ke era 90-an, ketika mahasiswa juga berhasil menurunkan rezim Soeharto dan beberapa pengikutnya. Kegagahan mahasiswa saat itu patutnya kita telusuri disebabkan oleh apa dan karena apa.
Beberapa tahun lalu pada awal 1998. Ketika itu ekonomi Indonesia mulai goyah, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30 WIB. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri-militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada dilokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Cerita lain misalnya dari Aceh. Tahun 1999, aksi mahasiswa yang tergabung dalam Sentral Informasi Referendum for Aceh (SIRA) yang dikoordinir oleh M. Nazar, salah seorang jebolan mahasiswa IAIN Ar-Ranirry (sekarang Wagub Aceh) mengumpulkan hampir dua juta manusia di Mesjid Raya-Banda Aceh.
Kegagahan mahasiswa Aceh yang menuntut agar rakyat tanah rencong diberikan kebebasan menyatakan pendapatnya secara terbuka tersebut membuka mata dunia. Setelah aksi besar-besaran tersebut, dunia seakan mendengar dan melihat langsung apa yang terjadi di Aceh saat itu.
Apakah kedua cerita itu berasal dari mahasiswa seperti Amat? Tentu saja tidak? Amat memang tercatat sebagai seorang mahasiswa, tapi ia bukanlah mahasiswa sepenuhnya apabila ia belum melaksanakan dua dari tiga perwujudan tridharma tersebut.
Sebagai mahasiswa, hendaknya kita eksis dalam berbagai hal, bukan hanya kuliah, kuliah dan kuliah. Jika pola hidup statis, seperti misalnya datang ke kampus, ikut kuliah kemudian pulang, tanyakan apa bedanya kita dengan kondisi di SMA dulu.
Kerjakan apa yang bisa dikerjakan, misalnya ; aktif di lembaga kemahasiswaan, baik yang bersifat kreativitas, politik dan lainnya. Tapi satu hal yang perlu ditekankan, jangan sampai terjebak dengan politik praktis dan momok kata-kata aktivis. Maksudnya janganlah kita merubah paradigma seorang aktivis, yaitu selalu mengkambinghitamkan jargon aktivis ketika kita tidak ikut kuliah, tidak mandi, penampilan acak-acakan dan lain sebagainya.
Berikan kepada mereka perubahan-perubahan apa yang akan mereka dapatkan setelah mereka mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Mulai dari perubahan hidup, manajemen waktu dan lingkungan pendidikan yang serba mengejar informasi bukannya menerima informasi.

Mahasiswa Sebagai Agent of Change dan Social Control
Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Misalnya, sekelompok mahasiswa di Banda Aceh melakukan aksi unjuk rasa menolak kenaikan tarif air PDAM. Aksi tersebut merupakan contoh kecil dari cara penyampaian sikap gelisah yang dirasakan rakyat bawah. Bagi sebagian orang, isu kenaikan tarif air PDAM di daerah, mungkin dianggap tidak begitu penting dibandingkan dengan isu nasional lainnya.
Namun bagi mahasiswa, setiap peristiwa dapat menjadi isu penting, karena mahasiswa memiliki sikap yang khas dalam memandang persoalan di sekitarnya. Sikap kritis yang dimiliki mahasiswa seringkali memiliki paralelisme dengan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Runtuhnya orde lama dan lahirnya Orde Baru tidak terlepas dari peran mahasiswa. Orde baru lahir dari sebuah harapan untuk perbaikan kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Namun, berbagai pergerakan mahasiswa tetap menghiasi cakrawala kehidupan berbangsa dan bernegara selama 32 tahun Orde Baru berkuasa.
Ketidakpuasan mahasiswa terhadap moralitas penguasa politik pada saat Orde Baru, telah menyulut berbagai pergerakan melawan tembok kekuasaan yang sangat kuat. Sikap represif para penguasa Orde Baru menyebabkan banyak mahasiswa yang ditangkap, tindakan seperti ini seakan mengaborsi lahirnya pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa ketika itu.
Titik kulminasi pergerakan mahasiswa pada saat orde baru terjadi tahun 1998. Kontradiksi politik dan sosial selama Orde Baru telah menyulut gelombang perlawanan mahasiswa secara frontal. Di samping itu, hantaman kuat krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia pada saat itu, telah membuat semua pihak menaruh mosi tidak percaya atas kebijakan penguasa.
Idealisme mahasiswa yang terkubur selama 32 tahun telah mengalami kebangkitan pada bulan Mei 1998, yang ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru. Berbagai peristiwa tersebut membuktikan betapa mahasiswa talah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Setelah reformasi digulirkan oleh mahasiswa, Indonesia mendapatkan angin segar dalam pemerintahan. Kepemimpinan negara bergilir silih berganti, dari mulai B.J. Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Masing-masing penguasa tentu saja telah dan sedang memberikan yang terbaik bagi rakyatnya, namun dalam setiap periode pemerintahan tersebut sering kali terdengar suara-suara miring.
Pemerintahan tersebut seakan lupa terhadap agenda-agenda reformasi yang dibuat tahun 1998. Pemerintah secara doktrinal-dogmatis memiliki otoritas untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakan yang diambilnya pada saat itu. Melihat fenomena tersebut, timbul tanda tanya besar apakah Orde Baru benar-benar telah runtuh?.

Pengontrol reformasi
Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengontrol reformasi secara utuh seperti saat mereka membidani kelahirannya bulan Mei 1998. Pergerakan mahasiswa pada saat ini tampaknya memiliki perbedaan signifikan dengan mahasiswa tahun 1998, yang mempunyai keseragaman visi, yaitu reformasi.
Kondisi tersebut tidak terlihat lagi pada masa kini, mahasiswa memiliki agenda dan garis perjuangan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Sekarang ini mahasiswa menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya masing-masing.
Mahasiswa sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.
Dengan adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam pola pikir setiap mahasiswa. Sebaliknya, pemikiran konservatif pro-status quo harus dihindari.
Mahasiswa harus menyadari, ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dimungkiri, mahasiswa sebagai social control terkadang juga kurang mengontrol dirinya sendiri. Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa.
Sebagai contoh, insiden bentroknya dua kubu mahasiswa di Unsyiah tempo hari. Hal ini jelas mencoreng wajah dunia pendidikan Aceh, terutama Universitas Jantong Hate Rakyat Aceh tersebut. Apa yang menjadi landasan pertikaian itu terjadi?
Bukankah perbedaan merupakan sebuah kesuksesan dalam roda demokrasi. Namun, kenyataannya mahasiswa Unsyiah saat ini sudah melupakan fondamen nya sebagai mahasiswa. Ruh reformasi dan penegak demokrasi di Aceh. Saat ini, santer terdengar kabar mahasiswa-mahasiswa di Aceh di tunggangi, di back-up atau apapun istilahnya oleh lembaga-lembaga tertentu. Baik itu lembaga yang berkiblat pada militerisme maupun lembaga politik praktis. Lalu, siapa sebenarnya mahasiswa itu? Pembuat perubahan atau pembuat kerusuhan?
Perubahan yang cepat dalam realitas politik dan sosial di negara ini menuntut sikap taktis dan strategis dari semua pihak, termasuk mahasiswa. Sikap ini tidak harus melalui gerakan-gerakan frontal dan radikal yang berlebihan, mengingat sekarang ini banyak muncul pandangan atau perkataan sinis terhadap mahasiswa, seperti mereka dibayar atau mereka ditunggangi.
Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah. Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.[]

No comments:

Post a Comment